Sabtu, 20 Desember 2008

Tinta Biruku

Ingin kucurahkan kata dalam kalbu
Namun entah kenapa jariku mengkaku
Serasa otak pun kelu
Hati membatu
Suara pun membisu
Dan tak ada makna tergores dari tinta biruku...

18 Desember 2008

Kamis, 18 Desember 2008

Cukupkanlah Hikmatku...

Sesaat bintang meraja
Menyapa malam yang berjelaga
Titik terangnya pun mendamaikan sukma

Namun entah, terkadang kabut menyapu
Menerbitkan rasa, aku pun meragu
Akan waktu dan hari yang telah dan akan berlalu

Tuhan, cukupkanlah hikmatku
Untuk bergantung hanya pada-Mu...

16 Desember 2008,
Tengah malam musim penghujan
yang tidak terlalu dingin

Minggu, 14 Desember 2008

Nationality?????

“Wah… lagi ngapain? Bungkus apaan tuh” perkataan basa basi dari atasanku, yang biasa teman-teman kantorku sebut dengan ‘ibumu’ kalau mereka sedang berbicara kepadaku, menyapa telingaku ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih. Hem… waktu di mana seharusnya orang-orang yang bekerja di kantor dengan jam ‘wajar’, sudah pulang ke rumah, atau setidaknya dalam perjalanan pulang ke rumah. Tapi hal ini lebih sering tidak berlaku di kantorku.

Sebenarnya pertanyaan itu tidak ditujukan kepadaku, tetapi kepada orang yang duduk di sebelahku, anak dari bos besar. Yah, sekedar pertanyaan basa basi, hanya dijawab dengan senyuman oleh orang yang diberi pertanyaan “ He.. He..”.

“Oh… apa itu? Salt bath? Wah, uda mulai jualan yah, pinter ya kamu…” sambungnya lagi, dan lagi-lagi hanya dibalas dengan senyuman.

“Wah… made in Bali yah, kok bukan made in Indonesia…” atasanku kembali menyambung perkataannya. Dan, kali ini dijawab “iya…”.

Head line news, berita malam ini….“ lagi nunggu salah satu acara talk show, di salah satu stasiun televisi, disuguhi berita garis kepala (head line news).

Berita malam ini, demo di salah satu daerah di Indonesia,

Bae-Bae? Bue-Bue? Entah apa namanya. Demo dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa tak puas dengan hasil pilkada, karena jagoan mereka kalah suara. Seperti biasa, demo disertai dengan mendobrak pintu gerbang gedung DPRD, merusak pagar, dan sejenisnya. Biasalah, seperti yang beberapa tahun belakangan sering kita lihat jika ada demo di televisi. Kekerasan? Sudah tidak asing lagi…

Selanjutnya… berita terbaru dari kasus penari di Maluku, peristiwa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu, ketika ada acara penting dihadiri oleh Presiden, ada penari, yang tergabung di dalam sebuah gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI, menari sambil mengibarkan bendera mereka.

Berita beberapa waktu lalu, ditemukan mayat wanita yang mati dalam keadaan mengenaskan, terlipat di dalam koper, dalam kondisi hamil muda. Koper diceburkan ke air. Pembunuhan…

Kejahatan dan kriminalitas? Menjadi santapan harian baik di televisi, koran dan media lainnya.

Fiuf… keadaan negara tak menentu, keributan di sana, keributan di sini. Demo di sana, demo di sini. Kerusuhan di sana, kerusuhan di sini. Perselisihan antar umat beragama, perselisihan inter umat beragama. Banyak kasus kejahatan dan kriminalitas yang terjadi di negeri kita ini.

Selintas, aku kembali terngiang perkataan yang hanya sekedar basa basi dari atasanku sore ini, namun setelah kuingat kembali, cukup menempelak diriku “Wah… made in Bali yah, kok bukan made in Indonesia…”. Kurenung-renung… kenapa yah, si pembuat garam mandi itu tidak menuliskan made in Indonesia? Apakah Indonesia kurang terkenal? Jadi mereka takut menuliskan made in Indonesia, curiga tak laku di pasaran ekspor… hem, bisa jadi.

Tetapi selama ini kata yang aku kenal ‘made in Japan’, ‘made in China’, ‘made in Malaysia’. Bukan ‘made in Tokyo’, ‘made in Kuala Lumpur. Mungkin ada, tapi aku yang tak pernah menemui, mungkin saja. Tapi sejauh yang aku lihat, mereka menggunakan label negara, bukan daerah di negara tertentu.

Yah, sebenarnya bukan itu masalahnya.

Jangan-jangan si pembuat garam itu sudah ‘tak percaya’ lagi dengan Indonesia, karena Indonesia sudah tidak seramah bangsa yang kukenal lewat pelajaran Pe eM Pe ketika aku SD, orangnya ramah, rajin menolong dan membantu, suka bergotong royong. Entah, hanya si pembuat garam yang tau jawaban yang sebenarnya.

Bicara tentang ke-Indonesiaan, lagi aku berpikir tentang nationality… benarkah rasa nationality kita, bangsa Indonesia telah luntur. Karena saking banyaknya kejadian-kejadian di Indonesia yang, yah mungkin bisa dibilang mengecewakan, sehingga kita merasa tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia? Atau parahnya, (jangan sampai) kita kecewa dengan Indonesia kita…

Bicara tentang nationality, pun bicara tentang gaya bahasa. Berapa banyak dari kita yang merasa lebih intelek, ketika bisa menyisipkan kata-kata bahasa asing di dalam pembicaraan kita, rasanya terlihat lebih ‘berpendidikan’, bahasa gaulnya, kelihatan atau kedengeran lebih keren. Apalagi kalau bisa melafalkannya seperti bule… dengan nada-nada sh, atau ff, mendesis. Ups...

Yang terakhir itu di luar kemampuanku… jangankan ngomong Inggris, ngomong pake Bahasa Indonesia juga selalu diejek teman-temanku “dasar medog…”

Bicara tentang nationality, bicara tentang kebanggaan. Saat-saat liburan, bagi anak kost adalah saat yang ditunggu-tunggu. Pulang ke kampung halaman, meski tak selalu ‘kampung’ dalam arti harafiahnya. Makan makanan kesukaan, jajanan nostalgia waktu masih sekolah, mampir ke tempat-tempat maen yang dulu sering dikunjungi, atau sekedar melihat tempat-tempat baru, yang dibangun setelah aku hengkang dari kampung halaman. Tak kalah serunya juga, saat berbagi cerita dengan saudara dan orang tua. Cerita tentang aku di sini, dan tentang mereka di sana…

“Cik… cik… anakmu wis lulus kuliah to, neng Mbandung yo? Saiki kerjo neng ‘ndi?”

hem… pertanyaan yang diajukan oleh mama salah seorang teman SDku, beberapa waktu lalu, saat dia ketemu dengan mamaku.

“He’e, anakku mbiyen kuliah neng Mbandung, terus saiki yo wis lulus, kerjo neng Mbandung…” jawab mamaku.

“Oh… he’e tho… anakku yo wis lulus ok, kerjo neng Singgapor… mbiyen kuliahe neng Suroboyo, bar kuwi lulus, kerjo neng Singgapor” ceritanya bangga…

Betapa bangganya, para orang tua yang merasa mampu menyekolahkan anaknya di luar negeri. Betapa bangganya orang tua, ketika anak-anak mereka bisa tinggal atau bekerja di negara yang tak berlabel Indonesia.

Satu kasus lagi, di mana orang Indonesia lebih bangga berlabel Singgapor daripada berlabel Indonesia. Meski darah yang mengalir di dalam nadinya berlabel INDONESIA.

Pun aku tak ketinggalan dengan mereka, buktinya, aku lebih merasa nyaman menggunakan kata nationality daripada kata nasionalitas, bukan karena apa-apa sih, tapi kelihatan lebih keren …

8 November 2007